sepuluh kategori aristoteles
Sepuluh kategori tersebut yaitu:
1. Substansi, setiap hal pasti berada didalam dirinya sendiri, bukan yang lain. Misalnya, manusia tetaplah berada dalam dirinya sendiri, tidak berada dalam binatang. Begitu pula binatang, tumbuhan, air, dan sebagainya.
2. Kualitas, setiap hal pasti berada di dalam kualitas sendiri, bukan yang lain. Misalnya, Aristoteles itu cerdas, bijaksana, putih, dan sebagainya.
3. Kuantitas setiap hal pasti berada di dalam bentuk dirinya sendiri, bukan yang lain. Misalnya, dua, setengah, panjang, dalam, seliter, semeter, dan sebagainya.
4. Relasi adalah setiap hal pasti berada di dalam hubungan dengan yang lain. Misalnya, Aristoteles murid Plato atau Edi putra dari Bambang, dan sebagainya.
5. Tempat atau ruang, eksistensi setiap hal pasti terikat dalam ruang tertentu, atau di dalam habitatnya. Misalnya di rumahnya.
6. Waktu, setiap hal dalam eksistensinya pasti terikat dalam waktu tertentu. Misal, Sokrates dalam melakukan seluruh kegiatan kehidupan keluarga, mengatur jadwal yang teratur.
+Rinal Purba
7. Keadaan, eksistensi setiap hal pasti terikat dalam keadaan tertentu. Misalnya, air itu begitu tenang (tidak terbebas dari situasi alam) atau Sokrates dalam melakukan seluruh kegiatannya, tidak bias terbebas dari keadaan dirinya dan situasi lingkungan alam; dan sebagainya.
8. Mempunyai, artinya dalam eksistensinya setiap hal pasti terikat dalam kebiasaannya sendiri. Misalnya, kebiasaan berdialog dalam perkuliahan.
9. Berbuat (aksi), dalam hubungannya dengan yang lain, setiap hal pasti memainkan suatu peran. Misalnya sebagai guru. aksi, yaitu pengertian yang menyatakan suatu tindakan atau aktivitas dari ada itu, seperti Socrates itu minum racun.
10. Menderita, setiap hal pasti menanggung derita atas aksi atau tindakan yang diperankan. Misalnya sebagai mempertanggungjawabkan perannya baik sebagai kepala rumah tangga maupun perannya sebagai guru.
Aristoteles membagi prinsip logika menjadi tiga, yaitu:
1) Prinsip identitas; prinsip ini menyatakan bahwa benda itu adalah benda itu sendiri, tidak mungkin benda yang lain. Prinsip ini dapat disimbolkan A=A. Dalam aktivitas berpikir, apabila suatu konsep telah ditentukan, maka ia tidak boleh dirubah lagi, selama konsep itu dijadikan pijakan, sehingga tidak akan menimbulkan kekeliruan dalam menyimpulkan. Dengan kata lain, prinsip ini menyatakan bahwa tidak ada kebenaran apabila di dalamnya mengandung pertentangan.
2) Prinsip kontradiksi; prinsip ini menyatakan bahwa suatu benda itu tidak dapat sekaligus menjadi benda itu sendiri dan benda lain dalam waktu yang sama. Prinsip kontradiksi ini menegaskan bahwa dua sifat yang berlawanan tidak mungkin ada pada suatu benda pada waktu dan tempat yang sama. Prinsip kontradiksi ini dapat disimbulkan A=B. Dengan prinsip ini, maka suatu pemikiran yang valid tidak boleh mengandung sifat-sifat yang kontradiktif.
3) Prinsip excluded midle (penyisihan jalan tengah); prinsip ini menyatakan bahwa suatu hal jika dinyatakan sebagai hal tertentu atau bukan hal tertentu, maka tidak ada kemungkinan hal ketiga menjadi jalan tengah. Jadi dua hal yang kontradiktif dalam suatu benda tidak mungkin salah kedua-duanya, pasti yang salah satu dan yang lain benar, tidak ada kemungkinan ketiga. Jika prinsip ini disimbolkan A{B.[5]
POKOK-POKOK AJARAN ARISTOTELES
Perubahan dan Kenyataan
Baginya, ajaran Plato tentang ide dari Plato tidaklah jelas, sebab ide-ide yang tidak berubah itu tak pernah dapat menjadi prinsip perubahan. Padahal seluruh kenyataan senantiasa berubah. Maka menurutnya, yang pertama-tama harus kita ketahui adalah mengetahui segala yang berubah dalam realitas. Karena itu baginya, tugas filsafat adalah merinci sifat-sifat dari segala yang ada, prinsip-prinsip dan sebab-sebab pertama (substansia). Tiap ada adalah ada yang konkrit yang dapat diterapkan dalam kategori-kategori (10 kategori/ accidentia).
Kesalahan Plato dalam hal ini adalah bahwa ide yang umum dipisahkan dari yang individual. Dualisme semacam ini ditentang Aristoteles. Dalam hal ini dia hanya mengakui satu realitas saja, yaitu hal-hal yang individual. Dalam hal yang individual itu tercantum yang umum dan tidak pernah lepas di atasnya. Semua yang ada mengambil bagian dari yang ada, tanpa yang ada tiada!
Lalu sekarang, bagaimana perubahan itu terjadi? Bagi Aristoteles, perubahan bisa terjadi dari dalam (benih menjadi pohon), dari luar (hasil karya seniman) dan perubahan tempat (dari sini ke sana). Dari sini dia sebenarnya baru menjelaskan permulaan dan akhir, tetapi belum menjelaskan hakekat dari perubahan itu sendiri.
1. Substansi, setiap hal pasti berada didalam dirinya sendiri, bukan yang lain. Misalnya, manusia tetaplah berada dalam dirinya sendiri, tidak berada dalam binatang. Begitu pula binatang, tumbuhan, air, dan sebagainya.
2. Kualitas, setiap hal pasti berada di dalam kualitas sendiri, bukan yang lain. Misalnya, Aristoteles itu cerdas, bijaksana, putih, dan sebagainya.
3. Kuantitas setiap hal pasti berada di dalam bentuk dirinya sendiri, bukan yang lain. Misalnya, dua, setengah, panjang, dalam, seliter, semeter, dan sebagainya.
4. Relasi adalah setiap hal pasti berada di dalam hubungan dengan yang lain. Misalnya, Aristoteles murid Plato atau Edi putra dari Bambang, dan sebagainya.
5. Tempat atau ruang, eksistensi setiap hal pasti terikat dalam ruang tertentu, atau di dalam habitatnya. Misalnya di rumahnya.
6. Waktu, setiap hal dalam eksistensinya pasti terikat dalam waktu tertentu. Misal, Sokrates dalam melakukan seluruh kegiatan kehidupan keluarga, mengatur jadwal yang teratur.
+Rinal Purba
7. Keadaan, eksistensi setiap hal pasti terikat dalam keadaan tertentu. Misalnya, air itu begitu tenang (tidak terbebas dari situasi alam) atau Sokrates dalam melakukan seluruh kegiatannya, tidak bias terbebas dari keadaan dirinya dan situasi lingkungan alam; dan sebagainya.
8. Mempunyai, artinya dalam eksistensinya setiap hal pasti terikat dalam kebiasaannya sendiri. Misalnya, kebiasaan berdialog dalam perkuliahan.
9. Berbuat (aksi), dalam hubungannya dengan yang lain, setiap hal pasti memainkan suatu peran. Misalnya sebagai guru. aksi, yaitu pengertian yang menyatakan suatu tindakan atau aktivitas dari ada itu, seperti Socrates itu minum racun.
10. Menderita, setiap hal pasti menanggung derita atas aksi atau tindakan yang diperankan. Misalnya sebagai mempertanggungjawabkan perannya baik sebagai kepala rumah tangga maupun perannya sebagai guru.
Aristoteles membagi prinsip logika menjadi tiga, yaitu:
1) Prinsip identitas; prinsip ini menyatakan bahwa benda itu adalah benda itu sendiri, tidak mungkin benda yang lain. Prinsip ini dapat disimbolkan A=A. Dalam aktivitas berpikir, apabila suatu konsep telah ditentukan, maka ia tidak boleh dirubah lagi, selama konsep itu dijadikan pijakan, sehingga tidak akan menimbulkan kekeliruan dalam menyimpulkan. Dengan kata lain, prinsip ini menyatakan bahwa tidak ada kebenaran apabila di dalamnya mengandung pertentangan.
2) Prinsip kontradiksi; prinsip ini menyatakan bahwa suatu benda itu tidak dapat sekaligus menjadi benda itu sendiri dan benda lain dalam waktu yang sama. Prinsip kontradiksi ini menegaskan bahwa dua sifat yang berlawanan tidak mungkin ada pada suatu benda pada waktu dan tempat yang sama. Prinsip kontradiksi ini dapat disimbulkan A=B. Dengan prinsip ini, maka suatu pemikiran yang valid tidak boleh mengandung sifat-sifat yang kontradiktif.
3) Prinsip excluded midle (penyisihan jalan tengah); prinsip ini menyatakan bahwa suatu hal jika dinyatakan sebagai hal tertentu atau bukan hal tertentu, maka tidak ada kemungkinan hal ketiga menjadi jalan tengah. Jadi dua hal yang kontradiktif dalam suatu benda tidak mungkin salah kedua-duanya, pasti yang salah satu dan yang lain benar, tidak ada kemungkinan ketiga. Jika prinsip ini disimbolkan A{B.[5]
POKOK-POKOK AJARAN ARISTOTELES
Perubahan dan Kenyataan
Baginya, ajaran Plato tentang ide dari Plato tidaklah jelas, sebab ide-ide yang tidak berubah itu tak pernah dapat menjadi prinsip perubahan. Padahal seluruh kenyataan senantiasa berubah. Maka menurutnya, yang pertama-tama harus kita ketahui adalah mengetahui segala yang berubah dalam realitas. Karena itu baginya, tugas filsafat adalah merinci sifat-sifat dari segala yang ada, prinsip-prinsip dan sebab-sebab pertama (substansia). Tiap ada adalah ada yang konkrit yang dapat diterapkan dalam kategori-kategori (10 kategori/ accidentia).
Kesalahan Plato dalam hal ini adalah bahwa ide yang umum dipisahkan dari yang individual. Dualisme semacam ini ditentang Aristoteles. Dalam hal ini dia hanya mengakui satu realitas saja, yaitu hal-hal yang individual. Dalam hal yang individual itu tercantum yang umum dan tidak pernah lepas di atasnya. Semua yang ada mengambil bagian dari yang ada, tanpa yang ada tiada!
Lalu sekarang, bagaimana perubahan itu terjadi? Bagi Aristoteles, perubahan bisa terjadi dari dalam (benih menjadi pohon), dari luar (hasil karya seniman) dan perubahan tempat (dari sini ke sana). Dari sini dia sebenarnya baru menjelaskan permulaan dan akhir, tetapi belum menjelaskan hakekat dari perubahan itu sendiri.
logika deduksi
Pengertian logika deduktif adalah ‘sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah berdasarkan bentuknya (form) serta kesimpulan yang dihasilkan sebagai kemestian yang diturunkan dari pangkal pikiran yang jernih atau sehat’. Atau logika deduktif adalah ‘suatu ilmu yang mempelajari asas-asas atau hokum-hukum dalam berfikirm hokum-hukum tersebut harus ditaati supaya pola berfikirnya benar dan mencapai kebenaran’ (Sudiarja, dkk., 2006; Copi, I.M. 1978).
Dalam kajian logika deduktif, secara umum macam-macam definisi dibedakan menjadi tiga, yaitu:Definisi nominalis, yaitu ‘definisi yang menjelaskan sebuah istilah’. Definisi nominalis dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) definisi sinonim, yaitu penjelasan dengan memberi arti persamaan dari istilah yang didefinisikan. Contoh: Valid adalah ‘sahih’; Sawah-ladang adalah ‘lahan pertanian terbuka’, Universitas adalah lembaga pendidikan tinggi tempat mendidik mahasiswa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan sebagainya; (2) definisi simbolik, yaitu penjelasan dengan memberikan persamaan dari istilah berbentuk simbol-simbol. Contoh, ( p => q ) = df – ( p Λ – q ), di baca, Jika p maka q, didefinisikan non (p dan non q); dan (3) definisi etimologis, yaitu penjelasan istilah dengan memberikan uraian asal usul istilah atau kata tersebut. Contoh. pengertian kata ‘filsafat’ berasal dari bahwa Yunani terdiri dari kata ‘philein’ yang berarti cinta dan ‘sophia’ yang berarti kebijaksanaan, dan sebagainya.
Definisi realis, yaitu ‘penjelasan tentang sesuatu atau hal yang ditandai oleh suatu istilah’. Definisi realis dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) definisi essensial, yaitu penjelasan dengan cara menguraikan bagian penting atau mendasar tentang sesuatu hal yang didefinisikan. Contoh, definisi ‘manusia’, adalah makhluk yang mempunyai unsur jasad, jiwa dan ruh; Definisi ‘nilai’, adalah sesuatu yang diagungkan atau dijadikan pedoman hidup; (2) definisi deskriptif, yaitu penjelasan dengan cara menunjukkan sifat-sifat atau ciri-ciri yang dimiliki oleh sesuatu yang didefinisikan. Contoh, Bangsa Indonesia adalah ‘bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan’, dan sebagainya.
Definisi praktis, yaitu ‘penjelasan tentang sesuatu istilah atau kata dari segi manfaat dan tujuan yang hendak dicapai’. Contoh: (1) ‘filsafat’ adalah ‘pemikiran secara kritis, sistematis, rasional, logis, mendalam dan menyeluruh untuk mencari hakikat kebenaran’; (2) ‘Universitas atau Institut’ adalah lembaga pendidikan tinggi untuk mendidik dan mencetak sarjana yang berkualitas yang berguna bagi masyarakat’ (Mundiri, 1994; Maram.R.R. 2007). Ciri-ciri dari logika deduktif adalah:
a) Analitis : Kesimpulan daya tarik hanya dengan menganalisa proposisi-proposisi atau premis-premis yang sudah ada
b) Tautologies : Kesimpulan yang ditarik sesungguhnya secara tersirat sudah terkandung dalam premis-premisnya
c)Apirori :Kesimpulan ditarik tanpa pengamatan indrawi atau operasi kampus.
d) Argument deduktif selalu dapat nilai sahih atau tidaknya.
Penyimpulan deduktif, yaitu pengambilan kesimpulan dari prinsip atau dalil atau kaidah atau hukum menuju contoh-contoh (kesimpulan dari umum ke khusus). Contoh:
(a) Setiap agama mengakui adanya Tuhan; – Budiman pemeluk agama Islam; – Jadi, Budiman mengakui (beriman) kepada Tuhan Yang Esa;
(b) Universitas Gadjah Mada mempunyai beberapa fakultas dan program studi; – Ani mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik; – Jadi, Ani mahasiswa Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Logika deduktif bisa berbahaya apabila salah dalam mengambil/menyusun kesimpulan. Sebagai contoh:
a) Pasir adalah material dasar sungai (premis major)
b) Lempung adalah material dasar sungai (premis minor)
c) Lempung adalah pasir (kesimpulan)
d) Semua karyawan di PT. Anaconda mempunyai IQ tinggi (premis major)
e) Komar bukan karyawan di PT. Anaconda (premis minor)
f) Komar tidak ber-IQ tinggi (kesimpulan)
Kesalahan ini sering terjadi karena menganggap kata “adalah” selalu berarti “sama dengan”. Perlu diingat bahwa kata “adalah” tidak selalu berarti “sama dengan”.